Bodhipathapradipam (Suluh Pada Jalan Penggugahan) ditulis oleh Atisha Dipamkara Shrijnana, mengandung intisari ajaran-ajaran Buddha mengenai pengentasan diri atas keberadaan yang tidak memuaskan yang menghantarkan pada hidup yang lebih adil (sila), kemurnian dan kerendahan hati, cinta kasih universal, welas asih, kedamaian dan perlunya bhavana untuk mencapai Bodhicitta dan dengan mengembangkan prajna agung, mencapai tujuan tertinggi dari penggugahan. Guru Atisha mengajarkan bahwa praktik Tantra yang sesungguhnya bukanlah sekedar ritual-ritual tetapi mengembangkan perhatian yang terfokus. Beliau mengklarifikasi praktik-praktik Tantra yang merosot (di Tibet) pada waktu itu dan menyebarluaskan praktik sila dan marga untuk mencapai pembebasan dari duhkha. Ajaran yang cukup singkat ini yang terdiri dari 66 gatha, mengungkapkan dasar-dasar ajaran Buddha dalam bahasa yang sederhana dan jelas. Guru Atisha membawa pengaruh yang sangat mendalam dalam sejarah Buddhadharma di Tibet, dan juga para pengikut ajaran Buddhis di seluruh dunia hingga saat ini, membimbing banyak orang pada jalan Dharma. Bodhipathapradipam merupakan salah satu ajaran Buddhis universal yang paling berpengaruh di dunia hingga saat ini.
Bodhipathapradipam ditulis atas permohonan Jangchub Wö, yang memohon beliau untuk menulis makna mendasar dari ajaran Buddha berdasarkan pengalaman beliau sendiri, yang dijabarkan sebagai marga lengkap yang membawa manfaat bagi kalangan umum dan yang mudah dipraktikkan. Dalam Bodhipathapradipam, Guru Atisha menjawab tujuh pertanyaan penting yang diajukan Jangchup Wö. Ketujuh pertanyaan tersebut adalah:
(1) Seperti apakah seorang praktisi Mahayana?
(2) Apakah bodhicitta dapat muncul dari diri orang biasa?
(3) Apakah perlu menjaga sila pratimoksha sebagai landasan untuk sila Bodhisattva?
(4) Ketika seseorang yang menjalankan sila pratimoksha mengambil sila Tantra, apakah sila pratimoksha menjadi sila Tantra atau apakah orang tersebut menjalankan kedua jenis sila?
(5) Apakah upaya dan prajna perlu dijalankan secara bersamaan atau tidak demi menyempurnakan kedua pengumpulan (punya dan jnana)?
(6) Cara pandang mana yang benar, Cittamatra atau Madhyamaka?
(7) Bagaimana seseorang memasuki pintu gerbang Vajrayana?
Atisha Dipamkara Shrijnana
Dipa artinya ‘pelita,’ kara berarti ‘seseorang yang menjalankan,’ Dipamkara berarti ‘pemegang pelita.’ Shrijnana berarti ‘prajna yang bersinar.’ Beliau sering disebut sebagai Jo-wo, Jo-wo-rje, Jo-wo chen-bo. Jo-wo artinya ‘Guru.’ Chen-bo artinya ‘agung.’ Jo-wo-rje juga mengandung arti yang sama. Ati artinya ‘agung, maha,’ yang dalam bahasa Sanskerta disebut ‘prabhu dan maha-prabhu’ dan Isha artinya ‘Bhagavan.’ Atisha artinya ‘Bhagavan agung,’ sesuatu yang sangat mirip dengan maha-prabhu atau jo-wo-rje.
Pada usia 32 tahun (1012 Sesudah Masehi), beliau berlayar bersama sekumpulan para pedagang permata untuk mengunjungi Suvarnadvipa, pusat belajar buddhis yang terpenting pada masa itu, dimana sekarang terletak di Sumatra, Indonesia. Guru Atisha belajar selama 12 tahun dengan Acharya Dharmakirti di Suvarnadvipa untuk sepenuhnya merealisasi ajaran-ajaran Buddha yang murni.
Acharya Dharmakirti pada waktu itu dianggap sebagai cendekiawan buddhis terhebat. Paling tidak, ada enam teks dalam kumpulan Shastra (Ulasan) Tibet yang ditulis oleh Acharya Dharmakirti, yaitu:
(1) Abhisamaya-alamkara-nama-prjnaparmita-upadesa-sastra-vrtti-durbodha-aloka-nama-tika,
(2) Bodhisattva-caryavatara-pindartha,
(3) Bodhisattva-carya-vatara-sattrimsat-pindarta,
(4) Siksa-samuccaya-abhisamaya-nama
(5) Arya-acala-sadhana-nama and
(6) Krodha-ganapati-sadhana.
Guru Atisha ikut menerjemahkan semua teks tersebut (kecuali teks yang terakhir) ke dalam bahasa Tibet. Dalam edisi Peking, kolofon dari teks ‘Arya-acala-sahana-nama’ bahkan menyebutkan bahwa teks tersebut diterjemahkan oleh Guru Atisha sendiri tanpa bantuan penerjemah Tibet.
Saat belajar di Suvarnadvipa di bawah bimbingan Acharya Dharmakirti selama 12 tahun itulah beliau kemudian menguasai ajaran Mahayana dan logika. Oleh karena itu, Acharya Dharmakirti yang membimbing Dipamkara hingga menguasai filsafat Mahayana, beliau sendiri pastilah seorang cendekiawan agung. Tidak mengherankan bahwa kolofon dari paling tidak, dua teks penting yaitu Satya-dvaya-avatara dan Bodhicarya-avatara-bhasya, Guru Atisha mengatributkan ajaran-ajaran tersebut pada Acharya Dharmakirti, dan ajaran ini kemudian diteruskan secara berlanjut dalam filsafat Mahayana yang dianut oleh Arya Nagarjuna, Maitreyanatha dan Candrakirti.
Guru Atisha mengakui bahwa beliau mempunyai banyak guru, namun beliau selalu mengatakan bahwa Guru Utama dimana beliau menerima ajaran-ajaran terpenting adalah Lama Serlingpa Dharmakirti Shri dari Suvarnadvipa, Sumatra, Indonesia.
|
KEMBALI | DOWNLOAD |