Retret tahunan kembali diadakan oleh Potowa Center untuk para pelajar, dengan tema 'Hidup Tanpa Ketakutan dengan Kepedulian dan Rasa Keadilan.' Retret yang diadakan pada tanggal 25-28 Juni, 2009 di Graha Meditasi Jhana Manggala, Gunung Geulis ini dibawakan oleh teman-teman Potowa Center dan diikuti oleh 64 orang peserta yang terdiri dari para pelajar remaja, dari tingkat SD, SMP sampai SMA.
Kegiatan dalam retret ini terdiri dari berbagi Dharma, melatih dan mengembangkan perhatian penuh, mengheningkan pikiran, merenungkan kualitas-kualitas tak terbatas, melafalkan doa dan sutra, berdiskusi kelompok dan yoga gembira. Peserta juga terlibat secara aktif untuk mengembangkan kepedulian seperti bekerja sama membersihkan peralatan makan dan tempat, mempertimbangkan orang lain ketika menggunakan kamar kecil dan sebagainya.
Ketakutan, tema dalam retret ini, adalah hal yang sering dialami oleh semua orang, khususnya para remaja; misalnya takut tidak naik kelas, takut tidak punya teman, takut mengecewakan orang tua, takut masa depan, dan sebagainya. Sebenarnya yang menyebabkan kita takut adalah 'ego.' Ketika kita memikirkan kenyamanan, keuntungan, dan kesenangan hanya untuk diri sendiri, saat itulah timbul ketakutan. Kita takut hal-hal yang nyaman, menguntungkan, dan menyenangkan tersebut berubah dan lenyap. Kita takut kebahagiaan yang kita alami tersebut hilang, kita takut 'si aku' akan hilang.
Sebenarnya yang kita inginkan dalam hidup ini adalah kebahagiaan. Namun seringkali, kita tidak tahu apa sesungguhnya kebahagiaan itu. Kita menganggap bahwa kebahagiaan itu sama dengan dipenuhinya keinginan, dan dengan memenuhi keinginan tersebut kita akan bahagia. Misalnya, kita menganggap kita akan bahagia jika kita mempunyai telepon genggam terbaru, pacar yang keren, atau jika kita bisa membeli ini dan itu. Namun kenyataannya walaupun keinginan tersebut dipenuhi, belum tentu kita bahagia, dan juga setiap keinginan baik dipenuhi maupun tidak, pasti akan digantikan oleh keinginan yang lain. Oleh karena itu, Buddha mengatakan bahwa keberadaan seperti ini bersifat tidak memuaskan dan ini ada sebabnya. Buddha mengajarkan bahwa untuk bahagia kita perlu tahu sebab permasalahan, dengan demikian kita dapat menghilangkan masalah tersebut, dan kita harus mengembangkan jalannya.
Retret kali ini menekankan latihan perhatian penuh, dengan kata lain melatih untuk 'hadir.' Belajar mengalami segala sesuatu apa adanya. Ketika mengalami sesuatu yang menyenangkan, biasanya kita tidak ingin melepaskannya, dan ketika mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan, biasanya kita akan menolak atau mengabaikannya. Di sini kita belajar mengalami segala sesuatu apa adanya, tanpa memilah-milah. Salah satu teknik yang digunakan adalah menumbuhkan atau merenungkan kualitas-kualitas dari Catur Apramana (Empat Pandangan Luas Tak Terbatas), yaitu cinta kasih (maitri), welas asih (karuna), ikut bergembira atas kebahagiaan makhluk lain (mudita), dan mengalami sesuatu apa adanya (upeksha).
Dari sesi "kreasikan puzzle-mu (melengkapi gambar)," para peserta belajar bahwa apa yang kita lihat mungkin akan dipersepsikan secara berbeda oleh orang lain. Demikian juga, ketika beberapa peserta diminta untuk menguraikan apa yang dilihat dari orang yang ada di hadapannya, para peserta belajar bahwa apa yang kita lihat didasari oleh cerita-cerita kita, pola-pola yang sudah terbentuk, dengan kata lain jejak-jejak yang tertinggal dalam kesadaran kita. Beberapa peserta ternyata tidak setuju dengan gambaran yang diberikan oleh peserta lain mengenai orang yang ada di hadapannya. Ini menunjukkan bahwa kita sangat subjektif; kita tidak pernah melihat segala sesuatu apa adanya. Kita cenderung menilai sesuatu berdasarkan kebiasaan dan pola-pola yang ada dalam diri kita.
Lalu bagaimana cara untuk mengubahnya? Kita perlu belajar untuk memisahkan pengalaman dan isinya. Tidak secara langsung bereaksi negatif ketika muncul perasaan yang tidak menyenangkan. Kita perlu mengubah cara pandang kita. Untuk dapat melakukannya, dibutuhkan konsentrasi yang baik dan perhatian yang tajam. Untuk mempunyai perhatian yang tajam, kita perlu berlatih untuk senantiasa 'hadir.'
Salah satu sesi yang sangat diminati oleh para peserta adalah sesi curhat alias diskusi kelompok. Biasanya dalam kelompok kecil, peserta lebih nyaman untuk mengajukan pertanyaan dan menyampaikan pendapat. Suasana sesi diskusi kelompok sangat interaktif. Dari sharing antar peserta, banyak kisah-kisah yang menarik dan inspiratif. Peserta belajar bahwa untuk bahagia, kita perlu mengubah sikap pandang kita, dari mementingkan diri sendiri menjadi lebih peduli pada yang lain. Dengan peduli pada orang lain dan sikap pandang yang benar, kita akan mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan sejati adalah suatu keadaan yang bebas, apa adanya, damai dan tenang, tanpa dipengaruhi oleh pola-pola dan kebiasaan-kebiasaan kita.
Pada hari terakhir retret, semua panitia dan peserta mendapat hadiah kejutan yang sangat istimewa, yaitu kehadiran Om Salim yang tiba-tiba dan membuat teman-teman tercengang bahagia. Om Salim sangat bahagia melihat para pelajar yang memutuskan untuk mengisi liburan dengan mengikuti retret.
Om Salim menjelaskan bahwa tidak ada yang disebut sifat dasar yang sudah ada dari sananya (dari sisinya sendiri). Yang ada hanya kebiasaan yang kita lakukan terus-menerus dan berulang kali sehingga mengkristal dan ini yang kita sebut sebagai sifat dasar. Kita memberi label pada diri sendiri, misalnya 'saya pemalas,' 'saya pemarah,' 'saya pintar,' dll. Namun sesungguhnya, tidak ada diri yang benar-benar pemalas, pemarah, atau pintar dari sisinya sendiri. Yang ada hanya kebiasaan-kebiasaan marah yang dilakukan berulang kali hingga mendarah-daging. Kemudian kita memberi label pada diri sendiri bahwa 'saya pemarah.' Inilah cara kita memandang dunia. Kita melihat dunia ini dari kacamata 'kebiasaan' kita. Misalnya bagi orang yang mempunyai kebiasaan marah, ia melihat dunia ini melalui kacamata 'kemarahan.'
Untuk bisa bahagia, kita harus peduli pada orang atau makhluk lain dan melihat serta mengetahui keberadaan yang sebenarnya (prajna). Untuk itu, kita perlu ketajaman pikiran (samadhi), dan untuk dapat berpikir tajam, kita perlu mengembangkan kebaikan hati (sila). Sila bukanlah larangan, namun membantu kita untuk mengetahui tindakan apa yang bila dilakukan akan membawa kenyamanan atau sebaliknya.
Masa depan kita ada di tangan kita sendiri. Adanya ketakutan biasanya berhubungan dengan masa depan atau peristiwa yang belum terjadi, namun sudah kita skenariokan dan ingin kita selesaikan saat ini juga. Ini tidak masuk akal. Tidak mungkin kita bisa menyelesaikan masalah yang belum terjadi. Jadi jangan takut dalam hidup ini. Jika ingin melakukan sesuatu yang baik, janganlah ragu. Yang penting dilandasi dengan motivasi: 'Kalau bisa bantulah yang lain; kalau tidak, jangan merugikan yang lain.'
Pada akhir acara retret, peserta merenungkan kebaikan hati orang tua seperti dalam Sutra Bakti Seorang Anak. Ini adalah Mutiara Kasih untuk Ayah-Bunda. Terima kasih Ayah-Bunda atas segalanya ...
Sebelum para pendekar muda turun gunung, Om Salim sempat mengulang intisari ajaran Buddha yang pada dasarnya dapat dirangkum dalam bait berikut ini:
Hindari hal-hal yang negatif
Tanamkan hal-hal yang positif
Amati dan disiplinkan pikiran dengan seksama
Ini adalah ajaran semua Buddha
Om Salim juga mengingatkan pesan terakhir dari Buddha Shakyamuni menjelang parinirvana:
vayadhamma sankhara
appamadena sampadetha
Keberadaan seperti ini bersifat tidak memuaskan,
Berusahalah untuk terbebaskan.
Sampai ketemu di retret berikutnya ...
|
KEMBALI |