Belabar atau belajar bareng bersama Upasaka Salim Lee di bulan September 2010 ini mengambil tema Bersemayamnya Citta – Jika Sepatu Pas, Kaki Terlupakan; Jika Sabuk Pas, Pinggang Terlupakan. Belabar yang dihadiri sekitar 80 orang peserta ini diwarnai dengan banyak aktivitas bhavana (meditasi) dan diskusi kelompok.
Dalam belabar ini, para peserta diajak untuk mengupas lebih tajam bagaimana cara kerja pikiran kita dan apa yang sebenarnya terjadi pada apa yang disebut ‘saya’ dan ‘hidup saya’ dengan menggunakan teknik bhavana: shamatha dan vipashayana. Kita belajar meningkatkan pengertian (bukannya pengetahuan) dan keterampilan kita.
Sehari-hari, pikiran kita berada di antara dua keadaan, yaitu bergejolak (terlalu aktif) atau loyo. Pikiran seperti ini membuat kita selalu lelah dan kurang tajam dalam menganalisa sesuatu. Tambahan pula, kita sering membuat ‘cerita’ tentang diri kita sendiri untuk membuktikan bahwa kita eksis. Jika ceritanya tidak cocok, kita stres atau depresi. Kita takut kehilangan persona, sehingga sebagai manifestasi dari keinginan untuk menciptakan atau mempertahankan personanya, sebagai contoh, orang yang kesepian lalu menjadi pemarah.
Kenyamanan dan kesenangan yang kita peroleh dari panca indera, yang eksternal, bersifat sementara dan seperti minum air laut, semakin minum semakin haus. Ini bukanlah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati yaitu keadaan yang bebas dari gejolak-gejolak pikiran — hanya bisa timbul dari dalam, dengan mendisiplinkan pikiran kita melalui bhavana. Tanpa mendisiplinkan pikiran, kita akan dilanda kegundahan terus-menerus, terombang-ambing seperti perahu di tengah lautan, tanpa arah.
Meditasi shamatha ditandai dengan tiga ciri utama: pikiran yang rileks (tidak tegang), stabil, dan jelas (clarity). Banyak orang menganggap bahwa tujuan meditasi adalah supaya bisa rileks dan tenang, tetapi sesungguhnya agar bisa meditasi kita harus rileks terlebih dahulu. Dengan bhavana ini, kita menatap emosi-emosi kita secara langsung, sehingga ‘letupan-letupan’ tidak muncul. bhavana adalah suatu teknik agar pikiran lebih sehat, waras, dan seimbang sehingga kita bisa melihat segala sesuatu lebih tajam dan awas.
Sedangkan meditasi vipashayana bersifat menyidik, sehingga dalam vipashayana biasanya disertai pertanyaan-pertanyaan untuk melihat realita itu seperti apa: “Apakah badan, vedana, citta ini permanen? Apakah “saya” sama dengan badan (apakah badan ini “saya”)? Apakah “saya” sama dengan vedana? Apakah “saya” sama dengan citta? Apakah ada “saya” sebagai pemilik?” dan sebagainya. Dengan menyidik terus-menerus, kita akan menyadari bahwa sesungguhnya tidak ada ‘saya yang solid, hakiki’, tetapi apa yang disebut ‘saya’ adalah label yang diberikan pada rentetan-rentetan pengalaman.
Beberapa teknik bhavana yang digunakan dalam belabar ini adalah: 1). Body scanning, 2). Mengamati naik-turunnya perut, 3) Anapanasati, 4) Open awareness, 5) shamatha focus on mind (settling the mind in natural state), dan 6) Menyidik atas persepsi dan konsepsi.
Ambillah intisari dari hidup ini sebanyak mungkin. Apa yang kita lakukan sekarang akan mempengaruhi masa depan kita. Gunakanlah hidup ini dengan baik, dengan mengingat empat hal yang dapat membantu untuk mengubah cara pandang kita: 1). hidup sebagai manusia adalah sangat berharga dan langka, 2) ingatlah bahwa segala sesuatu itu berubah-ubah dan kematian pasti akan datang, 3) apapun yang kita pikirkan, ucapan dan lakukan selalu membawa efek, dan 4) kehidupan yang tidak memuaskan ini bersifat samsara, sehingga kita perlu berupaya terus-menerus untuk meningkatkan kualitas hidup kita.
Bersamaan dengan itu, selalu pedulilah ke sesama. Welas asih yang sesungguhnya adalah berani hadir dalam penderitaan orang lain, ”He Ain’t Heavy, He is My Brother” (Dia Bukan Beban, Dia Saudaraku). Dengan berani hadir, meskipun tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan, kita mungkin sudah meringankan penderitaan orang tersebut. Jika kita memiliki welas asih dan hati yang peduli, tidak ada apapun yang bisa melukai kita. Dan jika kita ingin menangis, tangisilah ketidakmampuan dalam mengatasi emosi-emosi negatif kita, tetapi jangan menangis karena pemikiran mengasihani diri sendiri. Dan meskipun hidup ini banyak tantangan dan penuh kesulitan, ingatlah lagu ”Desiderata,” bahwa ”... dunia ini tetap indah” dan ”You are a child of the universe” (Engkau adalah putra-putri alam semesta).
Jika engkau mempedulikan orang atau makhluk lain dan engkau ingin membantu agar mereka bahagia, maka dunia akan bersekongkol untuk memberikannya padamu.
Jika kita dapat melihat segala sesuatu apa adanya, tidak dilawan atau diredam, tidak ditanggapi, tidak menambah ”cerita-cerita,” tidak mengidentifasikan diri dan tidak mencengkeram, maka kita bebas, seperti diungkap oleh Master Chuang Tzu:
“Ketika sepatu pas, kaki terlupakan, Bhavana perlu ditumbuhkembangkan terus-menerus. Jika halangan-halangan dalam meditasi muncul, seperti rasa enggan atau malas, melupakan instruksi dan sebagainya, ingatlah pada selimut kuning, dan setiap kali kita memakai atau melihat selimut kuning tersebut, agar kita tahu dan menyadari bahwa:
"Dalam penglihatan, yang ada hanyalah yang terlihat; dalam pendengaran, yang ada hanyalah yang terdengar; dalam rasa sentuhan, yang ada hanyalah yang dirasakan; dalam persepsi, yang ada hanyalah yang dipersepsi." "Ketika dalam penglihatan yang ada hanyalah yang terlihat; dalam pendengaran yang ada hanyalah yang terdengar; dalam rasa sentuhan yang ada hanyalah yang dirasakan; dalam persepsi yang ada hanyalah yang dipersepsi, maka engkau tidak ‘di situ.’ Ketika, engkau tidak ‘di situ,’ maka engkau tidak ‘dalam itu.’ Ketika engkau tidak ‘di situ,’ maka engkau tidak di dalam atau di luar atau di antara keduanya. Inilah akhir dari dukkha.” |
KEMBALI |